Pengelolaan dan Pengawasan Zakat
Setelah Undang-Undang (UU)
Pengelolaan Zakat no. 23/2011 direvisi Mahkamah Konstitusi (MK), publik semakin
bebas mengelola dan menyelenggarakan zakat dari dana muzakki. Kebebasan publik mengelola
zakat ini memberikan dampak positif dan juga dampak negatif bagi aktivitas
pengumpulan dan penyaluran zakat.
Menurut Ketua Forum Zakat (FOZ),
Sri Adi Bramasetia, setelah revisi UU Pengelolaan Zakat setidaknya antar
lembaga amil zakat (LAZ) dan badan amil zakat (BAZ) harus memperkuat koordinasi
program zakatnya.
Hal itu dikarenakan, usai revisi
UU ini penggiat-penggiat zakat di tanah air lebih bergairah melakukan
aktivitasnya. Disebabkan pengelola zakat perseorangan maupun lembaga memiliki
kepastian hukum pengelolaan zakat.
Namun di sisi lain, bertambah
banyaknya berbagai LAZ dan BAZ bisa berdampak tidak baik, yakni lemahnya
pengawasan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga zakat.
"Untuk itu, dibutuhkan
sebuah koordinasi yang lebih terintegratif agar menjaga profesionalisme dan
akuntabilitasnya," ujar Sri Adi.
Pengawasan Zakat
Beberapa catatan dari MK untuk
menjaga akuntabilitas dan profesionalisme LAZ dan BAZ perseorangan atau
masjid-mushola, perlunya pengawasan dari masyarakat dan melakukan pelaporan
keuangan kepada pihak yang berwenang.
Sedangkan, bagi lembaga amil
zakat (LAZ) swasta besar, secara administratif melakukan pelaporan keuangan ke
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Secara teoritif, menurut dia,
LAZ memang perlu memiliki pengawas. Apabila dilihat dari sisi adminitratif,
Baznas memiliki kewenangan itu.
Akan tetapi, ini masih menjadi
perdebatan bahwa hubungan LAZ dan Baznas bukanlah hubungan struktural layaknya
seperti Bank Indonesia (BI) yang mengawasi bank-bank di Indonesia.
"Sebenarnya revisi UU zakat
ini bukanlah menghadap-hadapkan antara Baznas dengan LAZ. Akan tetapi perlu
kesepahaman apakah Baznas berfungsi sebagai operator atau hanya sebatas
regulator seperti layaknya fungsi BI tadi," ujarnya.
Untuk itulah, kata dia,
sementara ini fungsi koordinasi LAZ dilakukan oleh FOZ yang mewakili berbagai
pengelola LAZ.
Wakil Sekretaris Baznas, M. Fuad
Nasar, mengatakan pengawasan dalam pengelolaan zakat tidak cukup hanya
pengawasan dari masyarakat saja. Akan tetapi, diperlukan pengawasan
pemerintah secara efektif dan menyeluruh. Terutama terkait dengan audit syariah
dan audit keuangan atas laporan pengelolaan zakat oleh LAZ maupun Baznas.
Ia mengingatkan, pasca keluarnya
putusan MK yang merevisi tiga pasal dalam UU no.23/2011 Pengelolaan Zakat,
yakni pasal 18 ayat (2), pasal 38 dan pasal 41. Peran Baznas sebagai
koordinator pengelolaan zakat tetap berjalan dan begitu juga fungsi regulator
yang dilaksanakan Kementerian Agama sesuai peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan Zakat
Menurut dia, saat ini memang
perlu diatur mekanisme pelaporan pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama) atau
pengurus/takmir masjid/mushalla. Terutama mereka yang tidak berbadan hukum di
suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ.
"Pengaturan perlu dengan
regulasi di bawah undang-undang agar pengelolaan zakat tetap terintegrasi dalam
satu kesatuan sistem (unified system)," jelasnya.
Fuad pun memiliki pemahaman
serupa bahwa inti permasalahan zakat yang terjadi sebetulnya bukanlah soal
kelembagaan antara pemerintah dan swasta.
Akan tetapi, bagaimana zakat
yang dihimpun oleh Baznas, LAZ dan BAZ bisa dioptimalkan karena hasil
pengumpulan masih jauh di bawah potensi yang ada dan tersurvei. Ini terlihat
bagaimana belum meratanya akses fakir miskin terhadap zakat yang dihimpun oleh
berbagai lembaga zakat.
Yang penting sekarang, terang
dia, adalah semua lembaga zakat dan setiap orang yang bertindak sebagai
amil zakat harus menyadari bahwa uang zakat yang dikelolanya adalah milik
mustahik yang tidak bisa digunakan semaunya dan hati-hati dengan hak orang
miskin.
Disinilah
pentingnya akuntabilitas pengelolaan zakat baik dari sisi syariah, keuangan,
maupun etik.
Posted by Wafa
Komentar
Posting Komentar